
LANGKAH KALTENG — Ketegangan agraria antara masyarakat adat Desa Karendan dan perusahaan tambang PT. Nusa Persada Resources (NPR) terus memanas. Konflik kian meruncing setelah muncul dugaan perampasan hak kelola lahan oleh pihak yang tidak memiliki legitimasi, termasuk Kepala Desa Muara Pari, Mukti Ali, dan seorang aktor lokal bernama Arif Subhan.
Perwakilan masyarakat adat Karendan, Jhon Kenedy, secara terbuka menyampaikan kekecewaannya kepada awak media, Sabtu (28/07/2025). Ia mengungkapkan bahwa warga asli pemilik ladang berpindah justru tidak pernah dilibatkan dalam proses ganti rugi pembebasan lahan yang masuk dalam wilayah Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) PT. NPR.
“Kami yang sudah turun-temurun mengelola ladang berpindah di sana, malah tidak diundang, tidak diajak bicara, apalagi diberi ganti rugi. Tapi justru orang lain yang tidak punya hak, tiba-tiba menerima dana miliaran rupiah,” ujar Jhon dengan nada tegas.
Kelompok Tani Fiktif Diduga Direkayasa
Menurut Jhon, Kades Muara Pari diduga telah merekayasa kelompok tani fiktif bernama “Kelompok Iyek” untuk mengklaim lahan Karendan sebagai milik warganya. Data kelompok dan status lahan disebut dimanipulasi dengan bantuan Arif Subhan, yang kerap menjadi perantara PT. NPR dalam konflik-konflik lahan sebelumnya.
“Ini jelas perampasan hak. Kelompok itu tidak pernah berkebun di sana, tapi mereka justru yang menerima dana tali asih. Kami menyebut ini penyalahgunaan wewenang dan skema manipulatif untuk memperkaya kelompok tertentu,” tambahnya.
Dugaan Pelanggaran Hukum dan Konstitusi
Jhon Kenedy menyebut bahwa skema ini telah melanggar berbagai ketentuan hukum nasional, antara lain:
Pasal 385 KUHP: Penyerobotan tanah
Pasal 372 KUHP: Penggelapan
Pasal 263 KUHP: Pemalsuan dokumen
Pasal 1365 KUHPerdata: Perbuatan melawan hukum
Pasal 145 UU Minerba No. 3 Tahun 2020: Hak masyarakat atas ganti rugi layak
Pasal 68 UU Kehutanan: Hak masyarakat atas kompensasi
Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011: Penetapan kawasan hutan tanpa ganti rugi adalah inkonstitusional
Lebih parahnya lagi, warga yang mempertahankan lahannya justru dikriminalisasi. Beberapa warga adat bahkan dilaporkan ke polisi atas tuduhan perambahan, padahal keberadaan mereka di lahan tersebut jauh lebih dulu daripada keberadaan perusahaan tambang.
Pengrusakan Fisik Lahan Warga
Masyarakat juga menuding PT. NPR telah merusak lahan secara sepihak menggunakan alat berat seperti ekskavator dan dozer. Akibatnya, dua pondok dan tiga rumah pondok warga mengalami kerusakan berat, tanpa ada proses hukum ataupun penyelesaian secara adat.
Tuntutan Tegas dari Masyarakat Karendan
Sebagai bentuk perlawanan atas ketidakadilan yang mereka alami, masyarakat adat Karendan menyampaikan empat tuntutan utama:
1. Pembentukan Tim Gabungan Independen dari KPK, Bareskrim Polri, Kementerian ATR/BPN, serta Dinas Kehutanan dan SDM Provinsi Kalimantan Tengah, untuk investigasi menyeluruh di lapangan.
2. Netralitas aparat hukum, khususnya Kapolres Barito Utara dan jajaran, agar tidak memfasilitasi transaksi ilegal yang merugikan masyarakat.
3. Pemeriksaan hukum terhadap semua pihak yang terlibat, termasuk Kades Muara Pari, Arif Subhan, Hirung (pimpinan PT. NPR), dan siapa pun yang menerima dana tanpa hak.
4. Penghentian sementara seluruh aktivitas operasional PT. NPR hingga konflik diselesaikan secara adil dan transparan.
Refleksi atas Ketimpangan Kekuasaan
Jhon Kenedy menutup pernyataannya dengan menyampaikan kekhawatiran bahwa kasus ini akan menjadi preseden buruk bagi masa depan masyarakat adat di Kalimantan Tengah jika tidak segera ditangani dengan serius.
“Kami masyarakat kecil hanya menuntut satu hal: keadilan. Jika negara tidak turun tangan, maka konflik ini bisa membesar dan menjadi catatan hitam dalam sejarah agraria Indonesia. Kami tidak akan diam jika hak kami terus dilanggar oleh kekuasaan yang bersekongkol dengan modal,” tegasnya. (redaksi)