
LANGKAH KALTENG, KUTAI BARAT – Tokoh Dayak Kalimantan Timur sekaligus Ketua DPP GERDAYAK Indonesia Kaltim, Erika Siluq, S.H., M.Kn., dipanggil oleh penyidik Polres Kutai Barat terkait laporan dari PT Borneo Damai Lestari Raya (BDLR) mengenai konflik lahan di Kampung Intu Lingau, Kabupaten Kutai Barat. Pemanggilan itu berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP-B/53/V/2025/SPKT/KALTIM/RES KUBAR tertanggal 10 Mei 2025.
Erika menjelaskan kepada awak media, Jumat (25/7/2025), bahwa warga Intu Lingau sebelumnya telah menempuh jalur persuasif, termasuk mediasi dengan perusahaan dan pertemuan resmi di Kantor DPRD Kabupaten Kutai Barat.
“Salah satu hasil rekomendasi pertemuan menyatakan bahwa perusahaan harus menghentikan seluruh aktivitas di lokasi hingga tercapai kesepakatan dengan masyarakat,” ujar Erika.
Namun, berdasarkan dokumentasi yang dimiliki warga, PT BDLR tetap melakukan aktivitas di lapangan tanpa mengindahkan rekomendasi tersebut. Merasa haknya diabaikan, masyarakat Intu Lingau bahkan telah menggelar aksi demonstrasi di Kantor Bupati Kutai Barat. Sayangnya, hingga kini belum ada langkah konkret dari pemerintah daerah.
“Saya dipanggil penyidik Satreskrim Polres Kutai Barat pada Kamis, 17 Juli 2025, sebagai saksi atas laporan pihak perusahaan. Ini bentuk kriminalisasi terhadap perjuangan warga yang hanya menuntut hak atas tanah mereka,” kata Erika.
Menanggapi pemanggilan terhadap Erika Siluq, Ketua Umum DPN GERDAYAK Indonesia, Yansen A. Binti, angkat bicara. Ia meminta agar Polres Kutai Barat bertindak profesional dalam menjalankan proses pemeriksaan terhadap Erika.
“Erika bukan hanya tokoh masyarakat adat, tapi juga Ketua DPP GERDAYAK Kaltim yang selama ini konsisten membela hak-hak masyarakat Dayak. Kami meminta jangan ada rekayasa hukum atau keberpihakan terhadap korporasi,” tegas Yansen.
Ia juga menekankan pentingnya supremasi hukum yang adil bagi masyarakat adat dan berharap aparat penegak hukum tidak menutup mata terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pihak perusahaan.
Lebih lanjut, Erika menegaskan bahwa masyarakat Intu Lingau menuntut Pemerintah Kabupaten Kutai Barat mencabut izin dan menghentikan operasional PT BDLR karena perusahaan belum menyelesaikan kewajiban pembayaran tali asih. “Yang baru dibayarkan hanya sekitar 20 persen. Itu pun menjadi bagian dari pembahasan pada mediasi yang dijadwalkan Kamis, 31 Juli 2025 mendatang,” ungkapnya.
Sengketa lahan antara warga dan perusahaan di Kutai Barat ini semakin menyita perhatian publik, terlebih ketika tokoh adat mulai ikut diseret ke ranah hukum. GERDAYAK Indonesia menyatakan akan terus mengawal proses ini demi memastikan hak masyarakat Dayak tidak diinjak oleh kepentingan bisnis semata. (Redaksi)